Ketentuan Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjelaskan Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini merupakan
perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana pasal 1 ayat (2) UUD 1945
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Yang
kemudian diimplementasikan melalui partai politik yang merupakan infrastuktur
dalam struktur ketatanegaraan kita.
Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 2011
tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik,
yang disebut sebagai Partai Politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD 1945 melalui pasal 19 menjelaskan
bawah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini
merupakan pengejewantahan atas kedaulatan rakyat. Kemudian pasal 22E ayat (3)
menjelaskan peserta pemilihan umum untuk pemilihan anggota DPR dan DPR adalah
partai politik. Inilah yang mendasari pentingnya partai politik tersebut.
Ketentuan Pasal 22B UUD 1945
menjelaskan, bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Inilah yang menjadi dasar dalam pengaturan tentang hak recall.
Istilah recall dalam ketatanegaraan di
Indonesia, juga dikenal sebagai penggantian antar waktu. Menurut B.N
Marbun, hak recall adalah suatu proses penarikkan kembali atau pergantian DPR
oleh induk organisasinya. Hak recall berfungsi sebagai mechanism
control dari partai politik yang memiliki wakilnya yang duduk sebagai
anggota parlemen. Partai politik memiliki peranan besar dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia saat ini.
Terdapat beberapa alasan, mengapa
pergantian antar waktu diperbolehkan. Hal ini diatur dalam Pasal 213 ayat (1)
dan dijabarkan lebih lanjut mengenai alasan-alasannya dalam Pasal 213 ayat (2) UU
No. 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DPRD). Salah satu alasan yang menimbulkan problematik adalah
alasan pada Pasal 213 ayat (2) huruf e,
dimana pemberhentian antar waktu dilaksanakan atas usul partai politiknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan huruf
h yaitu anggota diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Regulasi inilah yang menimbulkan
permasalahan, karena seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, duduk sebagai
anggota Parlemen dengan legitimasi dari suara rakyat, dan bukan dari suara
Partai Politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik adalah salah satu
unsur penting dinamika ketatanegaraan Indonesia, namun sebagaimana Negara kira
menganut Separation Of Power with Checks
and Balances Principle maka perlu juga adanya pembatasan terhadap kekuasaan
partai politik, terutama partai politik yang memegang pucuk pimpinan tertinggi,
baik di ranah kekuasaan Legislatif, maupun di ranah kekuasaan Ekskutif.
Berbicara recall memang tidak bisa
dilepaskan dengan sistem kepartaian yang ada di Indonesia dan koalisi yang
dipraktekan. Semangat yang dibangun dengan memunculkan recall sebenarnya memuat
tujuan yang positif, yaitu sebagai mekanisme kontrol terhadap anggotanya. Akan
tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah terkait sistem partai dan model koalisinya,
dengan melihat sistem multi partai dan pola koalisi yang dianut oleh negara
ini, maka kemudian menjadi ambigu ketika recall tetap dipertahankan.
Dalam posisi kontra sebenarnya lebih
mendasarkan bahwa recall terhadap anggota DPRD sama halnya membonsai hak asasi
manusia yang bersifat inheren. Recall merupakan bentuk pembatasan atas
kebebasan berpendapat, karena seseorang yang vokal akan merasa takut ketika menyampaikan
argumentasinya, hal itu dikarenakan kekhawatiran di recall oleh parpolnya
karena di anggap salah.
Hal itulah yang sekarang ini terjadi
pada Lili Chodijah Wahid dan Efendi Choiri. Padahal pengaturan kebebasan
berpendapat di Indonesia adalah tidak terlepas dari hak dasar seluruh umat
manusia yakni Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendapat jaminan perlindungan hukum
dalam BAB X A Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan peraturan Perundang-undangan
lainnya yakni UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Banyak juga pandangan kritis dan skeptic
terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa
partai politik sebenarnya tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi
sekelompok elite politik yang berkuasa dan sekedar sarana bagi mereka untuk
memuaskan “birahi kekuasaan”-nya sendiri. Partai politik hanya berfungsi
sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil
memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk
memaksakan berlakunya kebijakkan-kebijakkan public tertentu untuk kepentingan
segolongan orang “at the expense of the
General Will” (Rousseau, 1762). Bahkan menurut Robert Michels, partai politik
seperti organsisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat
oligarkis.
Hak recall oleh partai politik adalah
sarana yang disediakan oleh undang-undang untuk mengganti antar waktu anggota
partai politik yang duduk sebagai anggota parlemen. Seorang calon yang diusung
oleh partai politik dalam pemilihan umum anggota legislatif memiliki hubungan
antara calon dengan partai politiknya, tepai ketika calon tersebut telah
terpilih maka hubungan dengan partai politiknya harus dikesampingkan karena
calon tersebut telah diberikan legitimasi oleh rakyat yang memilihnya untuk menjadi
penyalur aspirasi mereka.
Apabila hak untuk melakukan recall
dilakukan oleh partai politik, maka berpotensi akan menggeser kedaulatan rakyat
menjadi kedaulatan partai politik. Secara tegas Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 mengatur bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Sudah menjadi tugas dari parlemen untuk
menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana asal mula kata parlemen, yakni le parle
yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa inggris berarti to speak, atau
bersuara. Tidak menjadi masalah apabila hak recall berada di tangan partai
politik sepanjang penggantian anggota DPR sesuai dengan syarat dan ketentuan
sebagaimana yang diatur dengan jelas dalam Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2) dan
dilakukan secara objektif dan dilandaskan pada parameter yang jelas, konkret
dan tidak multi tafsir. Akan tetapi fakta yang terjadi dalam dinamika
ketetanegaraan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa recall yang
dilakukan oleh partai politik kental dengan muatan politis.
Oleh dan sebab itu, recall oleh partai
politik memberikan dampak negatif bagi kehidupan politik Negara ini.
Nilai-nilai negatif yang dapat timbul antara lain ; pertama, mengekang dan
mengikat nalar dari anggota DPR yang kritis dan ingin menyuarakan suara
konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota DPR untuk takut kepada
oraganisasi induknya (Partai Politik), yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih
mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya, bukan lagi menyuarakan
aspirasi konstituennya.
Berdasarkan beberapa alasan lain, jelas
maka recall partai politik akan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan
partai politik, dan mencederai hak-hak konstituen yang telah memilih para wakil
rakyatnya untuk duduk sebagai anggota parlemen, yang sangat diharapkan dapat membawa
aspirasi mereka untuk diperjuangkan.
Solusi
Mekanisme recall yang sesuai dengan
ketatanegaraan Indonesia dewasa ini adalah dengan memberikan ruang lebih bagi
konstituen sebagai pemegang kedaulatan. Terdapat beberapa pilihan mengenai
penggunaan hak recall terhadap anggota DPR. Pertama, di Amerika Serikat, recall dilaksanakan dengan cara
pengumpulan tanda tangan dari para Senator dengan tujuan mencapai kesepakatan
untuk mengganti anggota Senator yang dianggap tidak cakap lagi menjalankan
tugasnya sebagai anggota parlemen yang kemudian dipertanggungjawabkan hasil
pengumpulan penandatanganan tersebut dan dibawa ke Badan Kehormatan. Kedua, dengan cara impeachment atau
pemakzulan dengan prosedur atau mekanisme untuk melaksanakan Pemilu ulang
dengan content atau isi pemilu tersebut adalah recall atau tidak terhadap
anggota parlemen yang dianggap tidak cakap lagi menjalankan tugasnya yang dapat
dilaksanakan dengan mengumpulkan tanda tangan pemilih, fotokopi Kartu Tanda
Penduduk dan disesuaikan dengan bilangan pembagi pemilih.
Solusi yang pertama adalah menggunakan
alat kelengkapan parlemen, yakni Badan Kehormatan, sedangkan solusi yang kedua
dinamakan hak recall oleh konstituen atau
Constituent Recall.
Kedua varian diatas dapat diaplikasikan
di Indonesia sesuai dengan pertimbangan dan penilaian yang dianggap layak.
Anggota DPR adalah bentuk political
representation atau representasi politik, yang berbeda dengan anggota DPD
yang merupakan regional representation atau representasi daerah, sehingga
recall anggota DPR harus dilandaskan pada mekanisme yang tepat, jelas
berdasarkan pertimbangan dan parameter yang tidak multitafsir yang terlebih
utama tidak mengabaikan nilai-nilai kedaulatan rakyat.
Selain itu Perlu adanya perbaikan sistem
dan regulasi untuk melindungi hak-hak konstituen dan lebih menguatkan makna
kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
*Oleh Muhamad Yusri (Mahasiswa PK HTN FH UNLAM)
0 comments:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.